Langkah di Jalan Berliku
Herman, seorang anak desa dengan tubuh tinggi dan wajah
cerah, tampak menuntun sepedanya yang ban luarnya mulai aus. Rambutnya hitam
legam, dengan sedikit kemerahan di ujungnya karena sering terpapar sinar
matahari. Kulitnya terlalu putih untuk ukuran anak desa, membuatnya sering
menjadi bahan candaan teman-temannya. Tapi Herman hanya tersenyum kecil setiap
kali lelucon itu dilemparkan. Ia tahu, hidup tidak perlu diambil hati.
Setiap pagi, Herman akan menaiki sepeda tuanya dan
menempuh perjalanan tiga kilometer ke sekolah. Jalanan berbatu yang
berliku-liku menjadi teman setianya. Meski roda sepedanya berdecit setiap kali
ia mengayuh, Herman tidak pernah mengeluh. Baginya, perjalanan itu adalah awal
dari semua harapan.
Herman dikenal sebagai anak yang sopan dan pekerja
keras di desanya. Sepulang sekolah, ia jarang terlihat bermain seperti
anak-anak lain. Sebaliknya, ia memilih membantu ayahnya mencari kroto di hutan
atau membersihkan kandang ayam kecil di belakang rumah mereka. Herman mengerti
bahwa keluarganya tidak punya banyak, jadi ia berusaha meringankan beban
orangtuanya semampunya.
Namun, ada hal yang sering mengganjal hatinya.
"Belajar itu penting," kata ayahnya berkali-kali. Tapi Herman tahu,
ia tidak punya banyak waktu untuk belajar. Pekerjaan rumah dan membantu mencari
nafkah sering membuatnya kelelahan. Malamnya, ia hanya bisa membuka buku
pelajaran di bawah sinar lampu minyak yang redup.
Di sekolah, Herman bukan anak biasa. Pak Untung, guru
matematika yang dikenal galak, pernah berkata kepada Bu Eka, wali kelas Herman,
"Bu Eka, saya perhatikan Herman itu beda. Cara dia menyelesaikan soal
matematika, ya Allah, kreatif sekali. Jauh lebih bagus daripada anak-anak yang
ikut les di kota."
Bu Eka mengangguk setuju. "Saya tahu itu, Pak
Untung. Herman itu anak yang luar biasa. Saya selalu ingin membantunya, tapi
apa daya, sekolah ini juga punya batas."
Hari itu, di ruang guru yang sederhana dengan meja kayu
yang penuh tumpukan buku, Bu Eka dan Pak Untung berbicara serius.
"Bu Eka, anak seperti Herman sayang kalau hanya
berhenti sampai sini. Kalau bisa, dia harus masuk SMA unggulan," kata Pak
Untung sambil memegang selembar kertas nilai ujian Herman.
"Iya, Pak. Tapi... kita tahu keadaan keluarganya.
Ongkos sekolah di kota itu tidak sedikit." Suara Bu Eka melembut.
"Tapi saya akan coba bantu semampu saya. Saya yakin, Herman bisa meraih
lebih."
Sementara itu, di halaman belakang sekolah, Herman
sedang duduk bersama dua sahabatnya, Anton dan Budi.
Anton adalah anak yang cerdas, tapi malas belajar. Ia
lebih sering menghabiskan waktu bermain sepak bola. Di sisi lain, Budi adalah
anak dari keluarga yang berkecukupan, tetapi ia sering mengandalkan kekayaan
orangtuanya daripada usahanya sendiri.
"Herman, nanti sore ke mana lagi? Cari
kroto?" tanya Anton sambil memainkan ranting kayu di tangannya.
"Iya, seperti biasa," jawab Herman, tersenyum
tipis.
Budi, yang sedang mengunyah ubi goreng, menyela,
"Kamu nggak capek, Man? Belajar saja kadang aku malas, apalagi harus
kerja. Hebat juga kamu."
Herman tertawa kecil. "Kalau nggak bantu orangtua,
siapa lagi? Lagipula, aku juga belajar kok. Malam nanti, setelah selesai
kerja."
Anton menatap Herman dengan penuh rasa penasaran.
"Man, kenapa sih kamu semangat banget? Aku ini malas belajar karena merasa
sekolah nggak penting-penting amat. Tapi kamu, beda. Padahal keadaanmu lebih
sulit."
Herman menghela napas. Ia menatap Anton dalam-dalam,
seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat.
"Ton," katanya pelan, "aku cuma percaya,
kalau aku belajar dan usaha, mungkin hidupku nggak akan terus begini. Nggak
selamanya aku harus cari kroto atau ngerjain apa saja yang bisa buat makan. Aku
ingin... punya pilihan."
Kata-kata Herman membuat Anton terdiam. Dalam hatinya,
ia mulai berpikir. Herman benar. Hidup ini tidak hanya soal menerima nasib,
tapi juga soal bagaimana kita bisa mengubahnya.
Bab 2: Mengukir Harapan di Tengah Keputusasaan
Pagi itu, langit masih biru pucat ketika Herman memanggul
tas besar yang berisi buku-buku bekas di punggungnya, lalu menaiki sepeda
tuanya. Angin pagi yang sejuk terasa menusuk kulitnya, tetapi dia tidak peduli.
Setiap pagi seperti ini adalah rutinitas yang tak pernah lepas dari hidupnya.
Meski jalanan desa itu penuh dengan batu-batu kecil yang membuat sepedanya
bergetar, Herman terus mengayuh dengan tekad yang kuat.
Jarak antara rumahnya dan sekolah sekitar 3 kilometer.
Meskipun tidak begitu jauh, perjalanan ini selalu terasa berat. Tidak hanya
karena panjangnya perjalanan, tetapi juga beban yang harus dia tanggung.
Ayahnya, seorang pencari kroto, tidak bisa selalu memberi uang untuk kebutuhan
sekolah, dan ibunya yang bekerja di rumah juga tidak banyak membantu. Lima adik
yang masih kecil membuat segala sesuatu semakin sulit.
Satu hal yang paling mengganggu pikirannya hari itu
adalah sepeda tuanya yang semakin rewel. Ban belakang sepeda itu sudah lama
aus, dan tiba-tiba, saat melewati tanjakan kecil, terdengar suara keras “kruk!”
dari ban luar sepeda. Herman menghentikan sepedanya dengan cepat. Ban itu
robek. Dia sudah tahu, hari ini sepedanya tidak akan bisa melaju lagi seperti
biasanya.
"Ah, sial!" Herman menggerutu, matanya
menatap ban yang robek itu dengan putus asa. Di dompetnya hanya ada beberapa
koin receh yang bahkan tidak cukup untuk membeli ban baru.
Dia duduk di pinggir jalan, menyandarkan punggungnya
pada tiang bambu yang terletak di sisi jalan. Matanya menatap sekeliling,
mencari solusi. Berharap ada sesuatu yang bisa digunakan untuk memperbaiki ban
sepedanya.
Dengan sisa-sisa harapan, Herman mengeluarkan sepotong
kain dari tasnya. Kain itu sudah usang dan penuh bekas kotoran, tapi tidak ada
pilihan lain. Dengan cepat, dia mengikatkan kain itu di sekitar ban yang robek,
mencoba menahan ban dalam agar tidak bocor. Hatinya menciut. Meskipun cara itu
tak akan bertahan lama, dia tahu dia harus tetap berangkat ke sekolah.
“Ya sudah, yang penting bisa sampai dulu,” gumamnya
pelan, meskipun dia tahu, kondisi ini bisa membuat sepeda itu semakin rusak.
Perjalanan itu terasa lebih panjang dari biasanya.
Setiap kali dia mengayuh, pikirannya berkelana jauh ke masa depan. Semua orang
di sekitarnya seperti tahu tujuan hidup mereka. Teman-temannya, yang hidup
dalam keluarga berkecukupan, bisa melanjutkan sekolah tanpa banyak beban.
Mereka bisa mengejar mimpi mereka. Tetapi Herman? Mimpinya terasa seperti sesuatu
yang jauh, hampir tidak terjangkau.
Sesampainya di sekolah, Herman berusaha mengabaikan
pandangan temannya yang menganggap sepedanya aneh dengan ikatan kain di ban
belakang. Namun, ada satu hal lagi yang mengganjal pikirannya: sepatu yang
dilumuri cat warna hitam. Sekolah mewajibkan semua siswa memakai sepatu hitam,
tetapi Herman hanya punya sepatu putih yang kebesaran. Itupun dari pemberian
tetangganya yang merantau di jakarta. Alhasil, Herman memutuskan untuk mengecat
sepatu putihnya itu dengan cat hitam yang ditemukan di gudang rumah. Dengan
tangan yang gemetar, ia mengoleskan cat hitam ke seluruh permukaan sepatu,
berharap hasilnya bisa cukup membuatnya lolos dari hukuman sekolah.
Herman melangkah perlahan ke gerbang sekolah dengan
sepatu yang baru dicat hitam. Tetapi begitu dia masuk ke halaman sekolah,
pandangan teman-temannya langsung tertuju padanya. Tarno, yang selalu senang
mencari kesempatan untuk mengolok-oloknya, langsung menertawakan.
“Eh, Herman! Sepatu lo kenapa? Cat semprot murah ya?”
kata Tarno dengan tawa mengejek, sambil menunjuk sepatu Herman yang jelas-jelas
terlihat seperti sepatu yang dicat ulang.
Herman menunduk, mencoba menahan rasa malu yang
merambat naik ke wajahnya. Tidak ingin terlihat lemah di depan teman-temannya,
dia tetap berjalan ke kelas, meski hati terasa semakin berat. “Cuma sepatu
doang, Herman. Fokus ke sekolah,” bisiknya dalam hati.
Tetapi di balik senyum sinis Tarno, Herman merasa malu.
Tidak hanya karena sepatu yang dipandang remeh oleh teman-temannya, tetapi juga
karena kenyataan bahwa dia harus berjuang lebih keras dari mereka untuk sekadar
bertahan. Tidak ada yang tahu betapa susahnya hidupnya. Mereka tidak tahu
bagaimana dia harus bangun pagi untuk mengayuh sepeda tua yang semakin rewel,
atau betapa kerasnya dia berusaha untuk tetap bisa bertahan di sekolah yang
menuntut banyak biaya.
Saat pelajaran dimulai, Herman duduk di bangku
belakang. Semua teman sekelasnya sibuk mengobrol dan tertawa, sementara dia
hanya bisa diam, merenung. Di tengah kebisingan kelas, Pak Untung, guru
matematika yang terkenal disiplin, masuk dengan langkah tegap. Dengan cepat,
suasana kelas berubah serius.
Pak Untung mulai mengajar dengan penuh semangat, dan
Herman, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa malu, berusaha fokus pada pelajaran.
Tidak ada yang tahu bahwa dia benar-benar ingin belajar. Di balik semua
cemoohan dan kekurangan yang dia hadapi, Herman punya impian yang besar: dia
ingin bisa melanjutkan sekolah, dan suatu hari, mengubah nasib keluarganya.
Pak Untung, yang melihat Herman terlihat berbeda hari
itu, berjalan mendekat. “Herman, kamu kenapa?. Jangan biarkan penampilanmu
menghalangimu untuk belajar. Kamu punya potensi besar,” katanya dengan nada
penuh harapan.
Herman hanya mengangguk, berusaha menahan air mata yang
mulai menggenang di pelupuk matanya. Tidak mudah baginya untuk menghadapi semua
ini, tapi dia tahu, jika ingin mengejar cita-citanya maka dia tidak boleh
cengeng.
Saat istirahat
sekolah, teman-temannya mulai berkumpul di depan kelas untuk bermain, Herman
mendekati Anton, teman sekelasnya yang sering terlihat malas belajar.
“Mau belajar
bareng, Anton?” tanya Herman.
Anton menatap
Herman dengan tatapan ragu. “Gue nggak ngerti apa-apa, Herman. Lagian,
pelajaran ini susah banget.”
“Gue juga nggak
pinter-pinter amat kok, Anton. Tapi kalau lo mau, gue bisa bantu,” jawab Herman
dengan senyuman kecil.
Anton akhirnya
mengangguk dan duduk di samping Herman. Walaupun belajar di sekolah terasa
sulit, Herman tidak pernah merasa keberatan untuk membantu teman-temannya.
Setiap kali mereka belajar bersama, Anton merasa ada semangat baru dalam
dirinya. Setelah mendengarkan nasihat Herman, Anton merasa termotivasi untuk
belajar lebih giat. Herman mengajarkan Anton tentang bagaimana harus
bersungguh-sungguh dalam belajar, meskipun kondisi hidup mereka sulit.
“Gue janji,
Herman, gue akan lebih serius mulai sekarang. Gue akan berusaha semaksimal
mungkin seperti lo,” kata Anton dengan tulus.
Setelah bel
berbunyi dan mengakhiri pelajaran di sekolah, Herman dengan langkah cepat
menuju pintu keluar. Sepanjang perjalanan menuju rumah, pikirannya sudah
dipenuhi dengan satu hal—kroto. Setiap hari, usai sekolah, dia tidak bisa
langsung beristirahat seperti teman-temannya. Tidak ada waktu untuk bermain
atau sekadar duduk santai. Begitu tiba di rumah, ia langsung mengganti pakaian
dan bersiap mencari kroto, mengayuh sepedanya menuju hutan atau sungai, tempat
semut rangrang bersarang.
Setelah beberapa
jam, Herman akhirnya pulang dengan hasil yang cukup lumayan. Meskipun sangat
lelah, Herman tahu bahwa dia harus tetap melanjutkan perjuangannya. Saat malam
tiba, setelah makan malam yang sederhana, Herman duduk di meja belajar. Dinding
rumah yang terbuat dari anyaman bambu menambah kesan dingin pada malam itu.
Lampu minyak yang temaram menjadi satu-satunya penerangan di dalam rumah.
Herman merasa
sangat lelah. Tubuhnya terasa pegal dan matanya sudah mulai berat. Tetapi, dia
tahu dia harus belajar. Meski begitu, ibu dan ayahnya sudah mengingatkan dia
untuk beristirahat.
“Herman, sudah
cukup. Istirahat saja, kamu pasti lelah. Nanti pagi masih ada waktu,” ujar ibu
dengan khawatir.
Herman menatap
buku-bukunya. “Herman nggak bisa berhenti, Bu. Kalau Herman nggak belajar
sekarang, gimana nanti ujian? Kalau Herman nggak lulus, gimana Herman bisa
lanjut ke sekolah unggulan? Gimana Herman bisa mendapatkan beasiswa?”
Ibu terdiam,
tetapi hatinya tersentuh melihat tekad Herman. Dia tahu, anaknya ini sudah
sangat berusaha meski dalam kondisi yang sulit.
Dengan tekad
yang bulat, Herman melanjutkan belajarnya meskipun matanya mulai terasa perih.
“Aku harus tetap belajar, Bu. Kalau nggak, apa yang bisa aku harapkan di masa
depan? Semua yang aku lakukan ini untuk masa depan keluarga kita.”. Herman
percaya bahwa pendidikan dapat mengubah nasib keluarganya.
Tengah malam,
Herman akhirnya menutup bukunya dengan rasa puas meskipun tubuhnya terasa
hancur. Dia tahu, meski usahanya tidak mudah, dia harus terus berjuang. Jika
dia berhenti sekarang, apa yang akan terjadi pada masa depan keluarga ini?
Herman bangun
dari meja belajar dengan tubuh yang lelah, namun hatinya penuh dengan harapan.
Harapan bahwa suatu saat nanti, semua kerja keras ini akan membuahkan hasil.
Dengan semangat yang tak pernah padam, Herman melangkah ke tempat tidurnya.
Tapi sebelum tidur, dia berdoa dengan sungguh-sungguh.
“Ya Tuhan, beri
aku kekuatan untuk terus berjuang. Aku tidak ingin mengecewakan orang tuaku,
dan aku ingin memberikan yang terbaik untuk masa depan kami.”
Keluarga
Pencari Kroto
Keluarga Herman
tidak memiliki sawah seperti kebanyakan keluarga di desanya. Di sebuah desa
yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari bertani, memiliki
sawah adalah simbol utama dari kemakmuran. Ayah Herman, Pak Rudi, adalah salah
satu yang tidak memiliki lahan. Hanya tanah sempit yang sekarang digunakan
sebagai tempat tinggal Herman dan adik-adiknya.
Pekerjaan utama
ayah Herman tidak biasa. Tidak seperti petani lainnya yang memiliki ladang padi
atau jagung, Pak Rudi mengais rejeki dengan cara yang tidak banyak orang di
desanya ketahui—mencari kroto. Kroto adalah pakan burung yang sangat dibutuhkan
oleh para peternak burung di kota-kota besar. Itu adalah pakan yang dihargai
tinggi, tetapi untuk mendapatkannya, dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran.
Namun, pekerjaan
itu tidak mudah. Kroto tidak tumbuh begitu saja di mana-mana. Mereka harus
pergi jauh ke hutan atau ke pinggir sungai, menyusuri tempat-tempat yang hanya
sedikit orang tahu ada banyak sarang semut rangrang yang menghasilkan kroto.
Tidak ada yang memandang pekerjaan ini dengan rasa hormat. Bahkan di desa itu,
sebagian orang menganggap Pak Rudi hanya bekerja sebagai "penggali
semut," sesuatu yang aneh dan tidak banyak orang yang mau melakukannya.
Awalnya hanya
pak Rudi yang bekerja mencari Kroto, tetapi lama-kelamaan anak anak pak rudi
semakin banyak dan kebutuhan keluarga mereka juga semakin bertambah. Akhirnya
sebagai anak sulung, Herman yang masih kecil mengalah dan mulai ikut membantu
ayahnya mencari kroto.
Saat sekolah
libur, Ayahnya mengajak herman berangkat pagi-pagi. Mereka akan mencari kroto
bersama, di tempat yang lebih jauh, di mana sarangnya lebih banyak.
“Herman, ayo
bangun! Kita berangkat pagi-pagi, sarang di hutan sana katanya banyak,” seru
ayahnya dengan suara hangat, sudah berdiri di pintu sambil memegang galah bambu
yang panjang.
Herman langsung
bangkit dari tempat tidurnya, matanya masih mengantuk, tetapi semangat untuk
berangkat bersama ayahnya mengalahkan rasa kantuk. “Iya, Yah, sebentar,”
jawabnya sambil bergegas mengambil galahnya yang tersandar di sudut kamar.
Mereka berdua
bersiap tanpa banyak bicara, hanya terdengar suara langkah kaki yang
terburu-buru dan suara sepedanya yang berderit. Setengah jam setelahnya, mereka
sudah berada di pinggir hutan yang sepi, di mana udara segar pagi membelai
wajah mereka. Ayahnya memegang galah, memeriksa arah angin, dan mulai menatap
pohon-pohon di depan mereka.
“Ayo, kamu ke
sana, aku ke sini,” kata ayah sambil menunjuk ke arah lain.
Mereka berpisah.
Ayahnya mencari di sisi hutan yang lebih jauh, sementara Herman menuju arah
yang lebih dekat. Setiap kali menemukan sarang semut rangrang, Herman akan
menggoyang cabang-cabang pohon dengan hati-hati, agar sarang itu tidak hancur
berantakan. Kroto-kroto yang jatuh langsung dimasukkan ke dalam ember bambu
yang dibawanya.
Namun, mencari
kroto tidaklah mudah. Setiap goyangan galah, semut-semut itu akan keluar dan
menggigit kulit Herman yang terbuka. Sakit? Sudah biasa. Mungkin jika ada teman
yang melihatnya, mereka akan merasa kasihan. Tapi Herman hanya menahan sakit
itu dan melanjutkan pekerjaannya. Setiap gigitan yang terasa menyakitkan justru
mengingatkan dia pada satu hal: dia harus terus berjuang.
Tak lama,
ayahnya muncul dari kejauhan, membawa ember yang hampir penuh dengan kroto.
Wajahnya sedikit lelah, tapi ada senyum puas di sana.
“Sudah dapat
banyak, Nak?” tanya ayahnya, meski jawabannya sudah bisa ia tebak.
Herman hanya
mengangguk dan melihat ke dalam ember bambunya yang kini sudah terisi beberapa
kroto. Meskipun tidak sebanyak yang ayahnya dapatkan, dia merasa puas. Mereka
bekerja bersama di pagi yang panjang ini, bekerja untuk keluarga, bekerja untuk
harapan.
Saat mereka
berangkat pulang, sinar matahari semakin tinggi. Herman merasa lelah, tapi ada
rasa bangga dalam hatinya. Hari itu berbeda. Hari itu, mereka bekerja bersama
sebagai ayah dan anak, tidak hanya mencari kroto, tetapi juga mencari harapan
di antara setiap tetes keringat yang mereka keluarkan.
Bab 3: Janji di
Antara Pohon Jati
Sore itu, langit mulai berwarna jingga. Biasanya,
sepulang sekolah Herman akan langsung mengganti seragam dan mengambil galah
panjang untuk membantu ayahnya mencari kroto. Namun hari ini berbeda. Ayahnya menyuruh
herman absen dulu mencari kroto karena minggu depan ada ujian akhir tahun di
sekolah. Herman memutuskan untuk memanfaatkan waktu itu dengan belajar bersama
Anton dan Budi di halaman rumahnya.
"Ton, Bud, ayo ke rumahku sore ini," ajak
Herman di depan kelas usai bel pulang berbunyi.
"Buat apa, Man?" tanya Anton, menggaruk-garuk kepalanya.
"Kita belajar bareng. Ujian kenaikan kelas minggu depan, kan? Daripada
nilai kalian jeblok lagi," kata Herman sambil tersenyum kecil.
Budi mendengus. "Belajar terus, belajar terus.
Hidup itu nggak cuma buat mikirin nilai, Man."
Herman tertawa. "Nggak salah. Tapi kalau nilaimu terlalu kecil, nanti kalian
tidak naik kelas. Mau?"
Budi terdiam, membayangkan bagaimana orangtuanya akan marah jika ia tidak naik
kelas. Akhirnya, ia mengangguk setengah terpaksa.
Di rumah Herman, ketiganya duduk melingkar di atas
tikar lusuh. Buku pelajaran terbuka di hadapan mereka. Lampu minyak yang mulai
menyala menjadi penerang karena senja perlahan memudar.
"Ton, coba kerjakan soal nomor empat ini," ujar Herman sambil
menunjuk buku latihan.
Anton menatap soal itu lama, lalu mendongak dengan wajah bingung. "Herman,
ini soal apa sih? Kayak bahasa planet."
Herman terkekeh kecil. "Itu tentang pecahan. Gini,
Ton, kalau ada satu kue dibagi dua, masing-masing dapat setengah. Nah, pecahan
itu seperti cara kita ngomongin bagian dari sesuatu."
Budi menyandarkan punggungnya ke dinding bambu, pura-pura menguap. "Udah
deh, kita nyerah aja. Lagian siapa sih yang pakai pecahan di kehidupan nyata?
Kalau kue ya langsung dimakan, nggak usah dibagi-bagi."
"Bud, jangan gitu. Kalau kue dibagi nggak rata, nanti kamu protes, kan?
Pecahan itu penting," Herman bersikeras, mengembalikan perhatian mereka ke
soal.
Beberapa jam berlalu, dan Herman masih sabar
menjelaskan, meski Budi terus mengeluh dan Anton berkali-kali salah. Ketika
malam tiba, mereka akhirnya menyelesaikan semua soal. Anton menatap Herman
dengan kagum.
"Kamu kok sabar banget, Man?" tanya Anton tiba-tiba. "Aku sih
kalau jadi kamu udah lempar buku ini ke sawah."
Herman tersenyum tipis. "Aku cuma mau kita semua bisa lebih baik. Kalau
aku ngerti sesuatu, kenapa nggak bantu kalian?"
Namun, semangat Anton tidak bertahan lama. Beberapa
minggu kemudian, Anton mendekati Herman di sekolah dengan wajah lesu.
"Man, aku mau berhenti sekolah," kata Anton pelan.
Herman terkejut. "Apa? Kenapa, Ton?"
"Bosan, Man. Sekolah tuh nggak ada gunanya. Nilai aku jelek terus,
guru-guru juga kayak nggak peduli. Mending aku kerja aja, bantu orang tua di
sawah."
Herman menarik napas dalam, menatap sahabatnya dengan
serius. "Ton, kamu tahu kenapa aku rajin belajar? Karena aku nggak mau
selamanya hidup susah. Kamu juga bisa, Ton. Aku lihat kamu pintar, cuma kurang
serius aja."
Anton menggeleng, air matanya hampir jatuh. "Nggak mungkin, Man. Aku nggak
secerdas kamu."
Herman menggenggam bahu Anton erat. "Kita beda, tapi bukan berarti kamu
nggak bisa. Kalau aku bisa, kamu juga bisa. Aku bakal bantu kamu sampai nilai
kita sama-sama bagus. Jangan nyerah, Ton."
Kata-kata Herman seperti tamparan bagi Anton. Malam
itu, Anton datang ke rumah Herman lagi, membawa semua buku pelajarannya.
"Aku mau belajar, Man. Bimbing aku."
Herman tersenyum lebar. "Itu semangat yang aku suka, Ton!"
Dari hari ke hari, Herman terus membimbing Anton dan
Budi. Meski lelah, Herman selalu memastikan waktu belajarnya tidak terlewat.
Ketika nilai mereka mulai membaik, Herman merasa perjuangannya tidak sia-sia.
Dia tidak hanya membantu teman-temannya, tetapi juga memberi mereka alasan
untuk percaya pada diri sendiri.
Matahari sudah condong ke barat saat Herman dan Anton
berjalan bersama di jalan setapak menuju rumah. Jalan itu diapit oleh pepohonan
jati yang menjulang tinggi, dengan dedaunan yang berguguran tertiup angin sore.
Herman mendorong sepedanya perlahan, sementara Anton berjalan di sampingnya
sambil membawa tas sekolah yang lusuh.
“Herman,” panggil Anton, tiba-tiba memecah keheningan.
“Lo nggak capek hidup kayak gini? Pulang sekolah harus kerja, malam belajar,
tidur cuma sebentar. Gue aja yang nggak ada kerjaan sering ngeluh, apalagi lo.”
Herman tersenyum kecil. "Capek sih, Ton. Tapi mau
gimana lagi? Kalau gue nggak kerja, adik-adik gue nggak makan. Kalau gue nggak
belajar, masa depan gue gelap. Jadi ya harus gue jalanin.”
Anton menatap Herman dengan mata yang penuh rasa
bersalah. “Gue iri sama lo, Herman. Lo kayaknya tahu banget apa yang lo mau.
Sementara gue? Gue cuma ngikutin arus. Kadang gue mikir, apa gunanya gue
sekolah?”
Herman berhenti, meletakkan sepedanya di pinggir jalan,
dan menatap Anton serius. “Ton, lo nggak boleh ngomong gitu. Sekolah itu
penting. Gue kerja keras sekarang supaya gue bisa sekolah setinggi-tingginya.
Gue nggak mau hidup gue begini terus. Lo juga harus punya mimpi, Ton. Kalau lo
cuma jalan tanpa tujuan, lo bakal nyesel di kemudian hari.”
Anton menunduk, menendang-nendang batu kecil di
depannya. “Tapi gue nggak sepintar lo, Herman. Lo bisa belajar sambil kerja,
nilai lo tetap bagus. Gue? Nilai gue aja pas-pasan.”
Herman mendekati Anton dan menepuk bahunya. “Gue juga
nggak sepintar yang lo kira. Nilai gue nggak setinggi itu. Tapi gue nggak
nyerah, Ton. Pintar itu nggak cuma soal otak, tapi soal niat dan usaha. Kalau
lo mau berusaha, gue yakin lo bisa lebih dari gue.”
Anton menghela napas panjang. Ada jeda sunyi di antara
mereka, hanya suara angin yang menggoyangkan daun jati di atas kepala mereka.
Lalu, Anton mengangkat wajahnya dan menatap Herman dengan mata yang basah.
“Herman, lo benar. Gue nggak boleh terus-terusan kayak
gini. Gue harus berubah. Gue janji, mulai sekarang gue bakal serius belajar.
Gue nggak mau ngecewain lo atau diri gue sendiri.”
Herman tersenyum lebar, tapi suaranya tetap tegas.
“Bagus. Janji itu bukan cuma omongan, Ton. Lo harus buktiin dengan tindakan.
Mulai dari sekarang, lo belajar lebih rajin, oke?”
Anton mengangguk mantap. “Oke, Herman. Lo bantu gue,
ya.”
Herman tertawa kecil. “Selama gue bisa, gue pasti
bantu. Tapi inget, semua balik lagi ke usaha lo sendiri.”
Bab 4: Ujian
Kehidupan
Pak Rudi adalah sosok yang jarang mengeluh. Sebagai
pencari kroto, ia tahu betul pekerjaan itu tidak menjanjikan banyak. Namun,
selama ini, ia selalu yakin bahwa pendidikan adalah jalan keluar terbaik bagi
Herman untuk meraih masa depan yang lebih baik.
“Ayah ingin kamu melanjutkan sekolah, Herman. Biar kamu
nggak kayak Ayah, harus jungkir balik tiap hari cuma buat dapat sesuap nasi,”
ucap Pak Rudi suatu sore, saat mereka berdua pulang mencari kroto. Keringat
bercucuran di pelipisnya, tetapi semangat di matanya tetap menyala. Herman
hanya mengangguk sambil memandang galah panjang di tangan ayahnya, merasa
bersyukur punya orang tua yang begitu peduli.
Namun, nasib memang kerap tak berpihak. Pada suatu
pagi, ketika Pak Rudi tengah memanjat pohon untuk mengambil sarang semut,
pijakannya tiba-tiba goyah. Ia jatuh terjerembab ke tanah. Herman yang berada
di dekat sana langsung berlari panik, memanggil-manggil ayahnya.
“Yah! Yah, bangun, Yah!” Herman berteriak sambil
mengguncang bahu ayahnya. Napas Pak Rudi tersengal-sengal, wajahnya pucat pasi.
Ketika akhirnya dibawa ke rumah, keluarga baru menyadari bahwa kaki kanan Pak
Rudi tidak bisa digerakkan.
Hari-hari berikutnya menjadi sangat berat. Pekerjaan
mencari kroto, yang biasanya sudah penuh tantangan, kini menjadi beban yang
lebih berat bagi Herman. Herman, yang kini harus mencari kroto sendirian,
pulang ke rumah setiap hari dengan wajah letih.
Pak Rudi, yang sebelumnya berjalan jauh ke dalam hutan,
memanjat pohon tinggi dengan cekatan, kini hanya bisa berbaring di tikar tipis
di ruang tengah. Kakinya sulit digerakkan, dan rasa nyeri seringkali membuatnya
tidak bisa tidur.
Melihat ayahnya yang dulu penuh semangat kini hanya
terdiam dengan tatapan kosong, hati Herman tersayat. Ia tahu ayahnya merasa
bersalah karena tidak bisa lagi membantu keluarga, tetapi Herman berusaha tidak
menunjukkan kesedihannya.
Suatu malam, ketika Herman sedang mencoba belajar di
sudut ruangan dengan lampu minyak yang redup, Pak Rudi memanggilnya.
“Herman, kemari, Nak.”
Herman menutup bukunya dan mendekat. Wajah ayahnya tampak lebih tua dari
biasanya, dengan garis-garis kekhawatiran yang jelas terukir di sana.
“Ayah nggak yakin kita bisa lanjut seperti ini, Nak,”
suara Pak Rudi terdengar serak. “Sekolah SMA itu di kota, kamu tahu kan? Butuh
ongkos. Belum lagi uang gedung, uang buku, seragam... Semua itu besar sekali.
Ayah takut... Ayah takut kita nggak sanggup.”
Herman mencoba tersenyum, meski matanya mulai
berkaca-kaca. “Tapi Ayah, aku bisa dapat beasiswa, kan? Aku akan belajar lebih
keras.”
Pak Rudi menggeleng pelan, lalu memegang tangan Herman.
“Beasiswa itu baru kamu dapat kalau kamu sudah masuk sekolah itu, Nak. Tapi
sekarang... bahkan untuk mulai saja, kita nggak mampu. Dan Ayah... Ayah udah
nggak bisa bantu kamu lagi.”
Herman tidak mampu menjawab. Ia hanya menunduk, air
mata mengalir di pipinya. Kata-kata ayahnya terasa seperti pukulan yang berat.
Sementara itu, di sudut tikar, Pak Rudi memalingkan wajah, berusaha
menyembunyikan air matanya sendiri.
Malam itu, Herman duduk di kamarnya yang temaram,
mencoba belajar seperti biasa, tapi pikirannya kacau. Buku di depannya terbuka,
tapi matanya kosong. Lampu minyak yang berkedip-kedip seolah ikut merasakan
keresahannya.
Dia menggumamkan kata-kata pada dirinya sendiri. “Kalau
gue nyerah sekarang, semua usaha gue selama ini sia-sia. Tapi kalau gue lanjut,
keluarga gue gimana?”
Keesokan harinya, di sekolah, Herman bertemu Anton.
Melihat wajah Herman yang lesu, Anton segera mendekatinya.
“Herman, lo kenapa?” tanya Anton dengan nada khawatir.
Herman hanya menggeleng. Tapi tatapan Anton memaksa
Herman untuk bercerita. Akhirnya, Herman menceritakan semuanya—tentang
keputusan ayahnya, tentang kebingungannya antara melanjutkan sekolah atau
membantu keluarga.
“Lo nggak boleh nyerah, Herman,” kata Anton tegas. “Lo
yang selalu bilang ke gue untuk nggak nyerah. Sekarang giliran gue yang bilang
itu ke lo. Lo harus cari cara. Lo nggak sendiri.”
“Tapi gimana, Ton?” Herman hampir menangis. “Gue nggak
punya uang. Gue nggak punya siapa-siapa.”
Anton menepuk bahu Herman. “Kita cari cara sama-sama.
Gue bantu lo. Gue nggak tahu gimana caranya, tapi gue nggak mau lo berhenti
sekolah.”
Bab 5: Pilihan
yang Menyayat Hati
Suara jangkrik bersahut-sahutan di malam itu. Angin
dingin menusuk hingga ke tulang, tapi di dalam rumah Herman, udara terasa lebih
dingin dari biasanya. Ayah dan Ibu duduk di ruang depan dengan wajah murung.
Herman berdiri di sudut ruangan, punggungnya bersandar pada dinding anyaman
bambu yang sedikit berlubang.
“Yah, Bu,” Herman memulai, suaranya lirih, “aku mau
lanjut sekolah. Kalau aku berhenti, gimana masa depan kita nanti? Aku janji,
aku bakal kerja keras buat ngebantu keluarga.”
Ayah mengusap wajahnya yang kusut. “Herman, Ayah tahu
kamu anak yang pintar. Ayah juga ingin kamu sekolah tinggi. Tapi... kita nggak
punya uang, Nak. Adik-adikmu butuh makan. Kita nggak bisa pilih semuanya.”
Ibu yang biasanya tenang ikut angkat bicara. “Herman,
bukan karena kami nggak sayang sama kamu. Justru karena kami sayang, kami nggak
mau kamu terlalu terbebani. Lihat dirimu, kamu udah kerja keras bantu cari kroto.
Kalau terus begini, kapan kamu punya waktu buat jadi anak-anak?”
Herman terdiam. Matanya memerah menahan air mata. Dalam
hatinya, ia tahu orang tuanya tidak bermaksud jahat. Tapi kenapa rasanya hidup
ini tidak pernah adil?
“Bu, Ayah,” Herman berkata lagi, kali ini suaranya
tegas, “aku tahu kita miskin. Tapi aku percaya, pendidikan itu satu-satunya
jalan keluar dari semua ini. Kalau aku berhenti sekarang, apa bedanya aku sama
orang-orang yang menyerah pada keadaan?”
Ayah menggeleng pelan. “Herman, ini bukan soal
menyerah. Ini soal bertahan hidup. Ayah nggak tahu apa lagi yang harus
dilakukan. Kalau kamu bisa bantu keluarga, kita bisa sedikit lega.”
Malam itu berlalu tanpa keputusan. Herman kembali ke
kamarnya. Di bawah sinar lampu minyak, ia memandangi buku-bukunya. Satu demi
satu ia sentuh, seolah memohon pada mereka untuk memberinya jawaban.
Keesokan harinya, Herman duduk di depan rumah,
memperbaiki tali sepatunya yang sudah mulai aus. Anton tiba-tiba datang,
membawa sesuatu di tangannya.
“Herman!” seru Anton, wajahnya cerah seperti biasa.
Herman tersenyum tipis. “Ada apa, Ton?”
Anton duduk di sampingnya dan mengeluarkan selembar
kertas dari sakunya. “Gue nemu ini. Informasi seleksi masuk ke sekolah unggulan
di kota. Lo harus daftar!”
Herman membaca kertas itu dengan seksama. Matanya
berbinar sesaat, tapi kemudian meredup lagi.
“Ton, lo tahu kan kondisi keluarga gue?” kata Herman
pelan.
“Tapi, Herman,” Anton memotong, “lo selalu bilang gue
nggak boleh nyerah. Sekarang lo mau nyerah gitu aja? Gue nggak percaya!”
Herman menghela napas panjang. “Gue nggak nyerah, Ton.
Tapi gue juga nggak bisa egois. Kalau gue sekolah, siapa yang bantu Ayah cari uang?
Kalau gue sekolah, siapa yang bantu jaga adik-adik gue?”
Anton terdiam. Ia tahu Herman benar, tapi hatinya tidak
bisa menerima kenyataan itu.
“Lo pahlawan buat gue, Herman,” Anton berkata akhirnya.
“Kalau nggak karena lo, gue nggak akan pernah mau belajar. Gue nggak akan
pernah ngerti kalau pendidikan itu penting. Kalau lo berhenti sekarang, gue...
gue nggak tahu gimana harus ngeliat lo.”
Herman tersenyum kecil, tapi senyumnya penuh kesedihan.
“Gue nggak berhenti jadi pahlawan, Ton. Gue cuma berusaha jadi anak yang nggak
lupa sama keluarganya.”
Hari itu, Herman memutuskan untuk berbicara lagi dengan
orang tuanya. Tapi kali ini, ia membawa permintaan yang berbeda.
“Yah, Bu,” katanya tegas. “Aku setuju untuk nggak
lanjut sekolah. Tapi aku punya satu syarat. Aku mau merantau ke Jakarta. Aku
bakal kerja keras disana. Aku yakin dengan bekerja di jakarta akan memiliki
uang lebih untuk adik-adiknya.”
Ayah dan Ibu saling pandang. Mereka tahu, di balik
keputusan itu, ada hati Herman yang hancur. Tapi mereka juga tahu, Herman tidak
akan mengubah keputusannya.
Malam itu, Herman duduk di depan rumah. Ia menatap langit
yang penuh bintang, mencoba mencari penghiburan. Anton tiba-tiba datang lagi,
kali ini dengan wajah murung.
“Herman,” kata Anton, duduk di sampingnya, “gue nggak
tahu harus ngomong apa. Tapi gue janji, gue bakal sekolah sungguh-sungguh. Gue
bakal jadi apa yang lo pengen gue jadi.”
Herman menoleh dan menepuk bahu Anton. “Lo nggak janji
sama gue, Ton. Lo janji sama diri lo sendiri. Kalau lo bisa sukses, itu udah
cukup buat gue.”
Anton terdiam, menahan tangis. Di malam yang sunyi itu,
dua sahabat saling menguatkan, meski di dalam hati mereka ada luka yang
sama-sama tak terkatakan.
Bab 6: Jalan di
Perantauan
Kota Jakarta, dengan hiruk-pikuk yang tak pernah
berhenti, menjadi latar baru dalam kehidupan Herman. Dia turun dari bus tua
yang membawanya dari kampung, hanya dengan satu tas kecil berisi pakaian dan
beberapa buku catatan yang masih ia simpan sebagai kenangan. Matanya menyapu
jalanan penuh kendaraan, wajah-wajah sibuk, dan bangunan tinggi yang membuatnya
merasa kecil.
“Selamat datang di Jakarta, Herman,” gumamnya pada diri
sendiri, mencoba menguatkan hati.
Herman tiba di sebuah warung makan Padang tempat ia
mendapat pekerjaan. Warung itu tidak besar, tapi ramai oleh pelanggan.
Pemiliknya, seorang lelaki paruh baya bernama Pak Harun, menyambut Herman
dengan senyuman hangat.
“Ini anak muda yang dari kampung, ya? Herman?” tanya
Pak Harun.
“Iya, Pak,” jawab Herman dengan sopan. “Saya siap kerja
keras.”
Pak Harun tertawa kecil. “Bagus! Tapi kerja di sini
nggak gampang. Kamu harus belajar cepat, ya.”
Herman mengangguk mantap. Meski lelah perjalanan belum
hilang, ia tahu dirinya tidak boleh mengecewakan.
Hari-hari di warung makan itu tidak mudah. Herman
bangun sebelum subuh, menyiapkan bahan makanan, menggoreng, mencuci piring,
hingga melayani pelanggan yang datang silih berganti. Tangannya sering terluka
karena air panas atau pisau dapur.
Suatu malam, setelah selesai bekerja, Herman duduk di
belakang warung. Ia membuka buku catatan lamanya, mencoba menulis sesuatu, tapi
tangannya gemetar karena kelelahan.
“Aku kuat. Aku bisa,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Tapi hatinya merindukan rumah, rindu suara Ibu yang lembut dan adik-adiknya
yang ribut bermain di halaman.
Beberapa bulan berlalu, dan Herman mulai memahami ritme
kehidupan Jakarta. Tapi yang tidak pernah berubah adalah kenyataan bahwa
gajinya pas-pasan. Setiap bulan, hampir seluruh uang yang ia dapatkan
dikirimkan ke kampung untuk membantu keluarganya.
“Herman,” kata Pak Harun suatu hari, “kamu anak yang
rajin. Tapi kenapa kamu nggak pernah beli apa-apa buat diri kamu sendiri?”
Herman tersenyum tipis. “Saya nggak butuh banyak, Pak.
Selama keluarga saya di kampung bisa makan, itu sudah cukup.”
Pak Harun mengangguk pelan. Ia tahu Herman adalah anak
yang istimewa, tapi juga tahu beban yang dipikul anak muda itu terlalu berat.
Suatu sore, ketika Herman sedang membersihkan meja,
seorang pelanggan tetap datang. Seorang pria dengan setelan rapi yang sering
memesan rendang. Kali ini, pria itu memperhatikan Herman lebih lama dari
biasanya.
“Kamu kelihatan seperti anak pintar,” kata pria itu
tiba-tiba.
Herman tersenyum canggung. “Ah, biasa saja, Pak.”
Pria itu mengangguk. “Kalau kamu punya kesempatan, kamu
mau sekolah lagi?”
Herman terdiam sesaat. “Mau, Pak. Tapi sekarang saya
harus bekerja dulu. Sekolah itu mahal.”
Pria itu tidak berkata apa-apa lagi, tapi malam itu,
kata-katanya terus terngiang di kepala Herman.
Di tengah segala kesulitan, Herman tidak pernah
kehilangan semangat untuk belajar. Setiap kali ada waktu luang, ia membaca buku
bekas yang ia beli dari tukang loak. Buku itu sudah usang, dengan halaman yang
robek di sana-sini, tapi baginya, itu adalah harta berharga.
“Gue harus tetap belajar,” bisiknya sambil membaca di
bawah lampu temaram warung. “Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Namun, tidak semua orang memahami semangat Herman.
Beberapa pegawai lain sering mengejeknya.
“Herman, ngapain baca buku? Nggak bakal bikin lo kaya!”
seru salah satu pegawai, sambil tertawa.
Herman hanya tersenyum. Dalam hatinya, ia tahu mereka
salah, tapi ia tidak ingin berdebat.
Suatu malam, Herman menerima surat dari rumah. Tulisan
tangan Ibu yang rapi membuat matanya basah.
“Herman, adik-adikmu sekarang sudah sekolah. Mereka
senang karena punya abang seperti kamu yang mau berkorban. Jangan lupa jaga
kesehatan di sana, Nak. Kami selalu doakan kamu.”
Herman menggenggam surat itu erat-erat. Di tengah
kesendiriannya, kata-kata itu menjadi pelipur lara. Ia menatap langit Jakarta
yang penuh asap dan lampu-lampu, bertanya dalam hati kapan semua perjuangan ini
akan berbuah manis.
Bab 7: Teman
yang Berjalan di Depan
Jakarta bukan hanya kota dengan gedung tinggi, lampu
gemerlap, dan jalanan sibuk. Bagi Herman, Jakarta adalah tempat di mana ia
melihat orang-orang yang dulu seolah tidak memiliki tujuan hidup, kini berlari
lebih cepat darinya.
Suatu siang yang terik, saat Herman sedang sibuk
mencuci piring di belakang warung, suara yang sangat dikenalnya tiba-tiba
menyapa.
“Herman? Kamu di sini?”
Herman menoleh cepat. Di depan dapur kecil itu berdiri
seorang pria berpakaian rapi, mengenakan kemeja dan celana yang terlihat mahal.
Herman memicingkan mata, mencoba mengenali wajah itu.
“Budi?” tanyanya ragu.
Budi tersenyum lebar. “Iya, ini aku! Lama nggak ketemu,
ya?”
Herman menahan napas sejenak. Wajah Budi yang dulu sering
ia lihat di bangku belakang kelas, kini tampak dewasa dan percaya diri.
“Wah, kamu sukses, Bud. Kerja di mana sekarang?” tanya
Herman sambil menyeka tangannya dengan kain.
“Aku kerja di rumah sakit sebagai perawat,” jawab Budi,
bangga. “Dulu aku pikir, jadi perawat itu nggak cocok buat aku. Tapi ternyata
enak juga. Gajinya lumayan.”
Herman tersenyum kecil. “Syukurlah kalau begitu.”
Mereka duduk di kursi kayu di belakang warung. Budi
memesan segelas es teh dan mulai bercerita tentang hidupnya.
“Kamu tahu kan, dulu aku nggak pernah serius sekolah.
Tapi aku beruntung, orang tuaku punya uang, jadi aku bisa lanjut SMA. Nah, dari
situ aku mulai mikir, nggak boleh sia-siain kesempatan,” ujar Budi sambil
menatap Herman.
Herman hanya mengangguk. Ia tidak bisa mengabaikan rasa
sesak di dadanya. Di saat Budi menemukan jalannya, ia sendiri harus berjuang
mati-matian hanya untuk bertahan hidup.
“Kamu sendiri gimana, Man? Kok bisa kerja di sini?”
Herman tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan luka
hatinya. “Aku nggak bisa lanjut sekolah, Bud. Harus bantu keluarga. Tapi nggak
apa-apa, yang penting mereka di rumah bisa makan.”
Budi terdiam. Ia melihat sesuatu yang tak pernah ia
sadari sebelumnya—beban berat yang ditanggung Herman, jauh melampaui usianya.
Saat Budi pergi, Herman kembali ke pekerjaannya. Tapi
sepanjang hari itu, pikirannya terus melayang.
“Apa aku salah memilih jalan?” gumamnya pelan, sambil
menyeka meja.
Namun, sebelum ia tenggelam dalam rasa putus asa,
ingatan tentang Anton tiba-tiba muncul di benaknya. Herman teringat saat-saat
ia mengajak Anton belajar, meyakinkannya untuk tetap semangat meski mereka
sama-sama miskin.
Beberapa tahun sebelumnya, Herman mendapat surat dari
kampung. Surat itu datang dari Anton. Dengan tangan gemetar, ia membuka
amplopnya dan mulai membaca.
“Man, aku nggak tahu gimana caranya bilang ini ke kamu.
Tapi aku mau terima kasih. Karena kamu, aku bisa berubah. Aku sekarang dapat
beasiswa di SMA Unggulan! Aku janji, aku akan belajar sekuat tenaga supaya bisa
kuliah, seperti yang selalu kamu impikan untuk kita dulu. Kalau nanti aku
sukses, aku nggak akan lupa sama kamu.”
Air mata Herman jatuh membasahi kertas itu. Ia memegang
surat itu erat-erat, merasa hangat di tengah dinginnya malam Jakarta.
“Mungkin aku nggak bisa berjalan sejauh mereka,”
bisiknya, “tapi kalau aku bisa membantu mereka berjalan, itu sudah cukup.”
Malam itu, Herman duduk sendiri di belakang warung,
menatap bintang-bintang yang samar tertutup kabut polusi kota. Ia tahu, jalan
hidupnya tidak akan mudah. Tapi setidaknya, ada yang berhasil berjalan lebih
jauh karena dorongannya.
Dan itu cukup untuk membuatnya bertahan.
Bab 8: Hikmah di Balik Perjuangan
Herman duduk di
sudut warung makan Padang, menatap piring-piring kosong yang berserakan di atas
meja. Lampu neon yang redup di langit-langit menyinari wajahnya yang lelah.
Suasana warung itu tidak pernah berubah. Begitu juga dengan hidupnya—terus
berputar dalam rutinitas yang tak pernah berhenti. Ia sudah menikah dengan
seorang perempuan baik hati, yang mengenalnya sejak kecil. Hidup mereka tidak
kaya, bahkan sangat sederhana. Pekerjaan di warung makan Padang ini sudah
menjadi bagian dari hidup Herman. Semua yang ada di depannya adalah kenyataan
yang ia harus terima dengan lapang dada.
Sudah
bertahun-tahun sejak ia lulus SMP dan tidak melanjutkan pendidikan. Semua
harapannya untuk sekolah ke SMA dan kuliah sudah terpendam dalam-dalam. Seiring
berjalannya waktu, Herman mulai menerima kenyataan itu—bahwa impian yang ia
bangun bertahun-tahun lalu tak terwujud.
Ia teringat
hari-hari saat masih mengais kroto bersama ayahnya, ketika mimpi itu begitu
besar dan berkilau. Ia teringat kata-kata ayahnya yang dulu penuh kekhawatiran
tentang biaya sekolah, yang selalu menghantui setiap langkahnya. Tapi kini, ia
tahu bahwa hidup memang tidak selalu berjalan sesuai harapan. Tidak semuanya
bisa diraih dengan usaha keras. Ada takdir yang harus diterima, tak peduli
seberapa keras ia berjuang.
Namun, walaupun
hidupnya tampak begitu biasa, Herman merasa ada yang hilang—sesuatu yang tidak
bisa ia penuhi dengan bekerja keras di warung makan ini. Ia ingin memberi
lebih, memberi yang terbaik untuk keluarganya. Mengingat betapa kerasnya
perjuangan untuk sampai sejauh ini, kadang membuatnya bertanya-tanya,
"Apakah semua ini sudah cukup?"
Seperti setiap
sore, warung makan Padang yang sederhana ini kembali dipenuhi oleh pelanggan.
Herman menyapanya dengan senyum, meskipun senyum itu terasa berat di bibirnya.
Ia melihat istrinya, yang tengah menyajikan nasi padang dengan ramah, dan anak
mereka yang baru belajar berjalan. Tiba-tiba telepon genggam di meja kasir
berbunyi.
"Ini Anton,
Mas," kata istrinya sambil memberikan telepon.
Herman
mengangkat telepon itu. Suara Anton, temannya yang sudah lama tak ia dengar,
terdengar di seberang sana.
“Herman... apa
kabar? Aku ingin bilang, aku baru saja lulus kuliah. Aku dapat pekerjaan
sebagai guru di sekolah favorit di kota,” kata Anton dengan penuh semangat.
Herman menelan
ludah. Perasaan campur aduk menyelimuti dirinya. Ia merasa bangga dan sekaligus
tersentuh. Temannya yang dulu malas-malasan di sekolah, yang dulu sering ia
bantu belajar, kini sudah sukses. Dia telah mewujudkan impian yang dulu Herman
impikan. Mimpi yang sekarang terasa begitu jauh dan kabur. Namun, di saat yang
sama, ia merasa kebahagiaan Anton adalah kebahagiaan baginya juga.
“Anton, aku
senang mendengarnya... kamu sudah mencapai apa yang kamu inginkan. Aku selalu
percaya kamu bisa,” kata Herman dengan suara yang serak.
“Aku ingin
berterima kasih padamu, Herman. Tanpa bantuanmu, aku tak akan pernah sampai
sejauh ini. Kamu sudah banyak mengajarkanku tentang hidup, tentang bagaimana
untuk tidak menyerah,” kata Anton dengan penuh rasa terima kasih.
Herman terdiam
sejenak. Sebuah perasaan aneh muncul di dadanya. Perasaan bangga, tapi juga
rasa yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Keberhasilan Anton adalah
bukti bahwa perjuangan dan nasihatnya dulu tidak sia-sia.
“Aku... aku
hanya berharap kamu tidak lupa sama teman-temanmu yang dulu,” jawab Herman
pelan, lalu tersenyum, meskipun hatinya terasa sakit.
Setelah
percakapan itu selesai, Herman duduk kembali, menatap keluar warung. Malam
sudah datang, dan lampu jalanan di luar terlihat remang-remang.
Istrinya datang
menghampiri, duduk di sebelahnya dengan tatapan lembut.
“Mas, jangan
sedih. Kita sudah berjuang dengan segala cara, dan Tuhan tidak pernah
meninggalkan kita,” kata istrinya.
Herman menatap
istrinya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia meraih tangan istrinya,
menggenggamnya erat. Ia sadar bahwa meskipun hidupnya tidak seperti yang ia
impikan, tetapi ia masih punya keluarga yang selalu mendukungnya, yang selalu
ada di sampingnya.
“Mas... kita
tidak bisa memilih jalan hidup. Terkadang, kita harus menerima bahwa kita tidak
bisa mengubah takdir. Tapi aku percaya, Mas. Kita sudah memberi yang terbaik,
dan Tuhan tahu itu. Semua perjuangan ini tidak akan sia-sia,” kata istrinya
dengan penuh kehangatan.
Herman menunduk,
mencoba menahan air matanya. Kata-kata istrinya menggetarkan hatinya. Ia mulai
memahami bahwa meskipun ia tidak mencapai semua yang ia inginkan, tetapi ia
sudah melakukan yang terbaik untuk keluarganya. Dan itu sudah cukup.
Anton mungkin
sudah sukses, tapi jalan hidup Herman memang berbeda. Namun, di setiap jalan
yang ia pilih, ia menemukan makna. Ketika ia menatap anaknya yang sedang
tertidur, ia merasa bahwa hidupnya tidak sia-sia. Mungkin takdirnya memang
tidak untuk menjadi sarjana, tetapi ia adalah seorang ayah dan suami yang
berusaha memberi kehidupan yang layak untuk keluarganya.
“Semoga kalian
semua selalu bahagia,” bisik Herman pelan, berdoa di dalam hati.
Dan pada malam
itu, setelah semua usaha dan penat yang telah ia jalani, Herman akhirnya bisa
tersenyum dengan tenang, menerima kenyataan dengan lapang dada.
Komentar
Posting Komentar