Harapan yang Tak Pernah Padam

Bab 1: Perkenalan di Sintesa

Suasana malam itu ramai di aula kecil Kukel, tempat pertemuan anggota baru organisasi Sintesa. Mahasiswa-mahasiswa baru yang berasal dari Tegal dan sekitarnya dikumpulkan untuk mengenal satu sama lain. Di pojok ruangan, Udin duduk sambil mengamati wajah-wajah asing. Ia bukan tipe yang mudah akrab, jadi lebih sering menyimak daripada berbicara.

"Eh, Din. Kenalan sama yang ini," ujar Andi, teman lama Udin yang jadi panitia acara. Andi mendorong seorang mahasiswa kurus, tinggi, dengan rambut panjang belah tengah. Pakaian Khoiron lusuh, kemeja putih dan celana panjang yang warnanya mulai pudar. Namun, dari caranya berdiri, ada aura kepercayaan diri yang tak biasa.

"Khoiron," katanya sambil menjabat tangan Udin. Genggamannya erat. "Kamu siapa?"

"Udin," jawab Udin pendek. Ia mencoba membaca karakter Khoiron dari pandangan pertamanya.

Acara dimulai dengan sambutan dari senior Sintesa. Sesi perkenalan menjadi inti malam itu, di mana setiap mahasiswa baru diminta bercerita tentang dirinya. Saat giliran Khoiron tiba, Udin mendengarkan dengan saksama.

“Nama saya Khoiron,” ucapnya tenang, tetapi suaranya menggetarkan aula kecil itu. “Saya dari desa kecil di Brebes, anak pertama dari tiga bersaudara. Ayah saya petani, dan ibu saya jualan kue di pasar.”

Beberapa orang mulai bergumam, tapi Khoiron melanjutkan tanpa ragu.

“Saya diterima di Fisika UI. Jujur, saya nggak tahu bisa bertahan atau nggak di sini. Tapi saya yakin, kalau saya belajar keras, kuliah ini bisa mengubah hidup keluarga saya.”

Semua diam. Cara Khoiron berbicara tidak meminta simpati, hanya menyampaikan fakta. Tetapi kalimat terakhir itu menyentuh hati Udin.

Selepas acara, Udin mendekati Khoiron.
“Kenapa pilih Fisika?” tanyanya.

Khoiron tersenyum kecil. “Karena fisika itu seperti hidup. Semuanya harus dicari sebab dan akibatnya. Kalau kita kerja keras, pasti ada hasilnya.”

Jawaban itu membuat Udin kagum. Belum pernah ia bertemu seseorang yang bicara sesederhana tetapi sedalam itu. Sejak malam itu, Udin merasa ada sesuatu yang istimewa dari Khoiron. Entah apa, tapi ia ingin mengenal sosok ini lebih jauh.

Di tengah perjalanan pulang ke kost masing-masing, Andi sempat berkomentar, “Khoiron itu orangnya aneh, tapi jiwanya besar.”

Udin hanya mengangguk. Dalam hatinya, ia setuju. Khoiron memang sederhana, tapi cara berpikir dan caranya berbicara terasa berbeda dari mahasiswa lainnya.

 

Bab 2: Jalan Gelap Menuju Mimpi

Khoiron memulai harinya seperti biasa. Sholat subuh di musala kecil dekat Kukel, lalu bergegas ke halte untuk menumpang bus kuning kampus yang gratis. Setiap pagi, ia membawa tasnya yang sederhana berisi bekal nasi dan kerupuk yang dibungkus plastik bening. Bekal itu hasil masakannya sendiri, menggunakan beras yang ia bawa dari kampung.

Khoiron memiliki cara hidup yang hemat. Setiap pulang ke Brebes maka ia akan membawa beras. Ia makan dengan Lauk pauk yang sederhana, kadang hanya kerupuk atau daun-daunan dari hutan UI yang ia rebus dengan bumbu seadanya.

“Gak masak sayur lagi?” tanya Udin, duduk di sampingnya di bus kuning.
Khoiron mengangguk. “Iya, Din. Hitung-hitung tirakat lah.”
Udin tersenyum kecil. “Kamu rajin banget. Aku kadang mikir, gimana bisa kamu tahan hidup kayak gini?”
Khoiron tertawa ringan. “Kalau nggak tahan, ya gak bisa kuliah lah?”

Hari itu, kuliah di FMIPA berlangsung padat seperti biasa. Khoiron mencatat setiap materi dengan teliti di binder lusuhnya. Sore harinya, dosen memberikan tugas besar yang harus diselesaikan dalam format laporan digital.

Khoiron menghela napas. Ia tidak memiliki komputer sendiri, dan bus kuning kampus hanya beroperasi sampai pukul 9 malam. Jika ia ingin mengerjakan tugas di komputer Jaka di asrama, ia harus berjalan kaki melintasi hutan UI saat malam. Khoiron tidak bisa meminjam komputer dikontrakan anak-anak sintesa. Di kontrakan mereka, hanya ada satu komputer milik Andi yang digunakan bergantian oleh semua penghuni. Bahkan Andi sendiri harus mengatur waktu dengan bijak agar setiap orang bisa mendapat giliran.

Malam Hari: Melintasi Hutan

Setelah memastikan Jaka sudah selesai dengan tugasnya, Khoiron berangkat dari Kukel sekitar pukul 10 malam. Ia memilih jalan pintas melalui hutan kampus. Jalur itu relatif lebih dekat, meski gelap dan sunyi. Hanya suara serangga dan desiran angin yang menemani langkahnya.

Ia menggenggam senter kecil, menerangi jalan setapak yang sesekali tertutup dedaunan. Kadang, ia berhenti untuk memastikan tidak ada suara mencurigakan. Hutan UI memang terkenal angker, tapi bagi Khoiron, waktu lebih menakutkan. Ia harus segera menyelesaikan tugasnya.

Sesampainya di asrama, Jaka menyambutnya di lobi. “Kamu datang juga. Ini komputernya udah selesai aku pakai.”
“Terima kasih, Jak. Maaf ya, jadi merepotkan terus,” ucap Khoiron sambil menyalakan komputer.

Ia mengetik tugasnya dengan fokus tinggi. Di layar, angka dan grafik fisika terasa lebih hidup di tangannya. Ia tahu setiap kata yang ia tulis adalah langkah kecil menuju mimpinya untuk mengubah nasib keluarga.

Keesokan Paginya:
Udin menemukan Khoiron di halte bus, terlihat lebih pucat dari biasanya.
“Kamu ke asrama lagi semalam?” tanyanya.
Khoiron mengangguk, sambil menyuapkan nasi dengan kerupuk dari kotaknya.
“Ron, kamu nggak capek?” Udin bertanya dengan nada khawatir. “Kamu berjalan kaki tengah malam, masak sendiri, terus kuliah seharian. Kenapa nggak istirahat?”
Khoiron tersenyum kecil. “Aku capek, Din. Tapi aku lebih takut kalau aku gagal. Aku nggak punya pilihan lain.”

Jawaban itu membuat Udin terdiam. Ada sesuatu di mata Khoiron yang tidak bisa ia lupakan—keteguhan dan keberanian seorang pemuda yang rela menghadapi kegelapan malam demi terang masa depan.

 

Bab 3: Bekal Kerja Keras dan Ketangguhan

Suasana di aula kecil organisasi Sintesa sore itu penuh kegembiraan. Para anggota berkumpul untuk berbagi kabar baik. Salah satunya adalah Udin, yang baru saja mendapatkan beasiswa penuh dari kampus.

“Alhamdulillah, akhirnya aku nggak perlu mikir soal biaya kuliah lagi!” Udin berseru bahagia, wajahnya berseri-seri.
“Keren banget, Din. Kamu emang pantes dapet beasiswa itu,” ujar Andi sambil menepuk bahu Udin. Yang lain ikut bersorak, menyalami Udin satu per satu.

Di sudut ruangan, Khoiron berdiri sambil tersenyum tipis. Ia ikut senang atas keberhasilan temannya, meski di dalam hati ada rasa yang sulit dijelaskan.

Setelah acara selesai, Udin mendekati Khoiron yang sedang mengemasi barang-barangnya.
“Ron, kamu udah coba daftar beasiswa juga?” tanya Udin, penuh rasa ingin tahu.
Khoiron menggeleng pelan. “Aku udah tahu hasilnya, Din. Nggak mungkin aku dapet.”
“Kenapa gitu? Kamu kan rajin,” desak Udin.
Khoiron tersenyum kecil. “Rajin aja nggak cukup, Din. Nilai akademikku nggak cukup tinggi buat bersaing. Dan lagi, aku tahu banyak yang lebih pinter dari aku yang layak dapet beasiswa.”

Udin terdiam, menatap temannya itu dengan rasa iba bercampur kagum. Ia tahu Khoiron tidak sedang merendah. Khoiron benar-benar tidak memiliki kelebihan akademik yang menonjol. Namun, ada sesuatu yang lain di mata Khoiron—sebuah kekuatan yang tidak pernah menyerah.

“Jadi, gimana kamu bayar kuliah kalau nggak dapet beasiswa?” Udin bertanya lagi.
“Aku dapet sedikit keringanan dari kampus. Nggak banyak, tapi cukup untuk bertahan. Sisanya, aku usaha. Kadang aku bantu-bantu di tempat fotokopi, kadang jadi kurir buku ke fakultas lain,” jawab Khoiron santai, seolah semua itu adalah hal biasa.

Udin menggeleng pelan. “Kamu itu luar biasa, Ron. Aku nggak tahu apa aku bisa kuat kalau di posisimu.”
Khoiron tertawa kecil. “Bukan soal kuat atau nggak, Din. Aku cuma nggak punya pilihan lain. Kalau aku nyerah, aku nggak cuma ngecewain diriku sendiri, tapi juga keluargaku di kampung.”

Bantuan kecil untuk khoiron

Malam itu, di aula kecil organisasi Sintesa, suasana terasa hangat meski udara dingin menyelinap dari luar. Para mahasiswa berkumpul setelah mendengar kabar tentang kondisi Khoiron.

“Khoiron butuh bantuan kita,” ujar Andi, ketua Sintesa, dengan nada tegas.
“Tapi gimana caranya? Kita juga bukan orang yang mampu semua,” celetuk salah satu anggota, wajahnya cemas.
“Kita bisa kumpulkan dana, meskipun sedikit. Kalau semua anggota ikut, pasti ada hasilnya,” jawab Andi penuh semangat.

Diskusi terus berlanjut hingga mereka memutuskan untuk membuat kotak donasi kecil dan menggalang dana di antara para anggota.

Dialog Udin dan Khoiron: Sebuah Perjuangan
Keesokan harinya, Udin mendatangi Khoiron di Kukel. Ia membawa kabar tentang aksi penggalangan dana itu, tetapi Khoiron, seperti yang sudah diduga, tidak terlalu suka menjadi beban bagi orang lain.

“Ron, kita semua udah sepakat buat bantu kamu,” kata Udin dengan senyuman kecil.
Khoiron, yang sedang duduk di tangga musala, menggeleng pelan. “Aku nggak minta ini, Din. Aku nggak mau nyusahin kalian.”

“Kita bukan nyusahin. Kita bantu karena kita peduli,” balas Udin, suaranya sedikit memohon.

Khoiron terdiam. Ia menatap lantai, lalu menghela napas panjang. “Din, aku ini siapa? Aku cuma anak kampung yang nggak pinter, nggak punya apa-apa. Kalian lebih pantas pakai uang itu buat kebutuhan kalian sendiri.”

“Tapi kamu nggak sendirian, Ron!” suara Udin terdengar lebih tegas sekarang. “Kamu teman kita. Kita tahu hidupmu nggak gampang, tapi kita juga tahu kamu nggak pernah nyerah. Itu yang bikin kita semua respect sama kamu.”

Khoiron tersenyum tipis, matanya mulai berkaca-kaca. “Din, aku cuma punya satu alasan kenapa aku masih di sini meskipun berat. Aku nggak mau pulang ke kampung dengan tangan kosong. Aku nggak mau buat orangtuaku kecewa. Mereka udah terlalu banyak berkorban buat aku.”

“Kamu nggak perlu ngomong gitu, Ron. Justru karena itu kami mau bantu kamu. Kamu harus lulus, biar semua usaha kamu dan keluarga kamu nggak sia-sia,” ujar Udin, suaranya mulai bergetar.

Momen Emosional
Mata Khoiron berkaca-kaca. Ia menatap Udin lama, kemudian berkata dengan suara pelan, “Aku nggak tahu gimana cara balas kebaikan kalian.”

“Cukup dengan lulus, Ron,” kata Udin sambil menepuk bahu temannya. “Itu udah lebih dari cukup buat kita.”

Khoiron mengangguk, meskipun hatinya masih berat menerima bantuan itu. Ia tahu, perjuangannya bukan hanya tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang harapan banyak orang yang percaya padanya.

Malam itu, di Kukel, Khoiron termenung lama setelah Udin pulang. Ia berdoa dalam hati, meminta kekuatan untuk melanjutkan langkahnya.

Di sisi lain, di asrama, Udin duduk bersama Andi dan beberapa anggota Sintesa, menghitung hasil galang dana. Meski tidak banyak, mereka tahu bahwa setiap rupiah adalah simbol solidaritas, sebuah pesan kepada Khoiron bahwa ia tidak berjuang sendirian.

 

 

Bab 4: Persahabatan yang Diuji

Malam itu, Kukel terasa sepi seperti biasa. Hanya suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing dari kejauhan yang terdengar. Khoiron duduk di beranda kamar kosnya, memandang langit yang gelap tanpa bintang. Di tangannya, sebuah buku catatan penuh coretan yang ia bawa ke mana-mana. Tapi malam itu, tidak ada satu pun kata yang bisa ditulisnya.

Langkah kaki terdengar mendekat. Udin muncul dari kegelapan, membawa sekantong plastik kecil berisi pisang goreng yang ia beli di jalan.

“Ron, aku bawa gorengan. Masih hangat,” sapa Udin, berusaha terdengar santai.

Khoiron menoleh, tersenyum tipis, lalu mempersilakan Udin duduk di sebelahnya. “Kamu rajin banget, Din. Jam segini masih nyari gorengan.”

Udin duduk di sampingnya, meletakkan kantong plastik itu di antara mereka. “Aku tadi mau ke sini sekalian. Nggak bisa tidur, jadi mikir sekalian nyari cemilan.”

Mereka makan gorengan dalam diam untuk beberapa saat. Namun, Udin tahu ada sesuatu yang mengganjal di hati temannya itu.

“Ron, kamu kenapa? Aku tahu kamu belakangan ini berubah,” kata Udin akhirnya, memecah keheningan.

Khoiron tidak langsung menjawab. Ia menunduk, memainkan ujung buku catatannya. “Nggak apa-apa, Din.”

“Kamu nggak bisa bohong, Ron. Aku lihat kamu mulai menjauh. Kamu nggak lagi ngobrol sama teman-teman di Sintesa. Apa ini soal bantuan itu?”

Khoiron menghela napas panjang, lalu menatap Udin. Matanya terlihat lelah, namun ada sesuatu yang dalam di sana—rasa malu dan kebingungan. “Aku nggak tahu, Din. Aku cuma… nggak enak sama kalian semua. Aku ini... cuma merepotkan.”

Udin menggeleng, menatap Khoiron dengan sorot tegas. “Dengar ya, Ron. Kalau kamu merepotkan, aku nggak bakal ada di sini sekarang. Andi, aku, teman-teman di Sintesa, kita semua peduli sama kamu. Kita bantu kamu bukan karena kasihan. Tapi karena kita percaya kamu.”

Khoiron tersenyum tipis, tapi senyuman itu pahit. “Kamu nggak ngerti, Din. Aku ini nggak seperti kalian. Aku nggak pintar, aku nggak punya apa-apa. Satu-satunya hal yang aku punya cuma mimpi, dan aku takut kalau mimpi itu terlalu besar untuk aku raih.”

Udin terdiam sesaat, menahan gejolak emosinya. “Ron, kamu tahu nggak kenapa kami bantu kamu? Karena kamu itu inspirasi buat kami. Kamu itu tangguh, kamu nggak pernah nyerah meskipun banyak yang bilang kamu nggak bakal bisa.”

“Kamu salah, Din. Aku sering banget hampir nyerah. Hampir pulang kampung tanpa bilang siapa-siapa,” kata Khoiron, suaranya bergetar.

“Tapi kamu nggak beneran pulang, kan?” Udin memotong, suaranya naik. “Itu bedanya kamu sama orang lain. Kamu mungkin nggak pintar, nggak punya apa-apa, tapi kamu nggak berhenti jalan. Kamu masih di sini. Itu yang penting!”

Kata-kata Udin membuat Khoiron terdiam. Ia tidak menyangka temannya akan bicara sekeras itu. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, meskipun ia berusaha menyembunyikannya.

“Din…” suara Khoiron pelan, hampir berbisik.

“Kamu nggak sendirian, Ron. Kami di sini. Kami nggak bakal biarin kamu jatuh tanpa bangun lagi,” lanjut Udin, nada suaranya melunak.

Malam itu, di bawah langit Kukel yang sunyi, mereka duduk lama. Tidak banyak kata yang diucapkan setelah itu, tapi keheningan tersebut penuh makna. Khoiron tahu, ia punya teman-teman yang mendukungnya. Dan Udin tahu, temannya yang paling tangguh hanya butuh sedikit dorongan untuk terus berjalan.

 

Bab 5: Klimaks - Ujian Terakhir dan Titik Balik

Langit Depok sore itu mendung. Di ruangan kelas besar di FMIPA UI, Khoiron duduk di bangku belakang dengan kepala tertunduk. Di depannya, soal-soal ujian fisika tingkat lanjut terhampar, penuh dengan angka, simbol, dan rumus-rumus yang terlihat seperti bahasa asing.

Tangannya gemetar memegang pensil. Ia membaca soal itu berulang-ulang, tapi rasanya otaknya menolak bekerja.

“Ya Allah, bantu aku,” bisiknya pelan.

---

Dua minggu sebelumnya, Khoiron diberitahu bahwa ia harus mengulang salah satu mata kuliah utama, "Fisika Teoritis Lanjutan," setelah nilainya tidak mencukupi pada semester sebelumnya. Saat itu, dunia terasa runtuh.

“Ron, kamu harus ulang. Ini wajib untuk lulus,” ujar dosennya dengan nada serius saat memberikan hasil ujian.

Khoiron hanya bisa mengangguk. Ia tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja sulit diterima.

Di kosannya, Khoiron membuka buku catatannya. Setiap halaman penuh dengan tulisan kecil, hasil mencatat di kelas dan beberapa soal yang ia coba pecahkan sendiri. Tapi ia tahu, semua itu belum cukup.

Rumus-rumus seperti hukum Gauss, transformasi Fourier, dan teori medan kuantum berputar-putar di kepalanya. Teman-temannya seperti Andi atau Udin bisa memahaminya dengan sekali penjelasan. Tapi bagi Khoiron, setiap konsep terasa seperti labirin tak berujung.

Bahkan, ia tidak punya buku literatur fisika utama seperti teman-temannya. Setiap kali ada tugas, ia hanya mengandalkan fotokopi dari perpustakaan atau catatan seadanya.

Malam-malamnya semakin panjang. Setelah selesai mencuci piring bekas makan malam dengan nasi dan kerupuk, ia duduk di bawah lampu redup di kamar kosnya, mencoba memahami materi dari buku-buku pinjaman. Kadang ia lapar, tapi tidak ada makanan lagi yang tersisa.

“Kalau aku nggak ngerti, aku nggak bakal lulus,” pikirnya berkali-kali, suara hatinya tercekik ketakutan.

---

Di hari terakhir menjelang ujian ulang, Khoiron nyaris menyerah. Ia duduk di beranda kosan dengan kepala bersandar di tembok.

Andi datang membawa buku. “Ron, belajar bareng yuk. Aku temenin.”

Khoiron menatapnya, lelah. “Andi, percuma. Aku ini bodoh. Materi ini terlalu susah buat aku. Orang pintar aja butuh waktu, apalagi aku.”

Andi menepuk pundaknya. “Dengar, Ron. Kamu bukan bodoh. Kamu itu pekerja keras. Kalau orang lain paham dalam sehari, kamu bisa paham kalau belajar seminggu. Masalahnya cuma waktu, bukan kemampuan. Ayo, aku bantu sampai paham.”

Malam itu, mereka belajar bersama hingga larut. Andi menjelaskan rumus-rumus dengan sabar, meskipun Khoiron masih sering bingung. Tapi Khoiron tidak menyerah.

---

Kembali ke ruang ujian, Khoiron memejamkan mata sejenak, mengingat semua yang telah ia pelajari. Ia mulai menulis, perlahan, satu rumus demi satu rumus. Tangannya terus bergerak, meskipun otaknya penuh keraguan.

---

Seminggu setelah ujian, hasil diumumkan. Khoiron menggenggam amplop nilai dengan tangan gemetar. Andi dan Jaka berdiri di sekelilingnya, menunggu dengan penuh harap.

Ia membuka amplop itu. Di sana, tertulis angka yang ia tunggu-tunggu: “C+”.

Bukan nilai sempurna. Tapi itu cukup untuk lulus.

Khoiron terdiam, menatap angka itu lama. Kemudian, ia menutup wajahnya dengan tangan. Tubuhnya bergetar.

“Ron, kamu lulus!” seru Andi, memeluknya.

Khoiron menunduk, air matanya tak tertahan. “Aku nggak percaya, Andi. Aku pikir aku nggak bakal bisa.”

Jaka menepuk pundaknya. “Kamu bisa, Ron. Kamu buktikan kalau usaha itu lebih penting daripada segalanya.”

Khoiron menatap teman-temannya, air matanya masih mengalir. “Terima kasih, kalian. Kalau bukan karena kalian, aku mungkin sudah berhenti. Aku nggak tahu harus balas kebaikan kalian bagaimana.”

“Jangan pikirin balasan, Ron,” jawab Andi dengan senyuman. “Yang penting, kamu harus tetap jalan. Kita bareng-bareng sampai akhir.”

Di malam itu, di bawah cahaya lampu redup asrama, Khoiron merasakan beban besar di pundaknya terangkat. Ia tahu, perjalanannya masih panjang. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian.

 

Bab 6: Penutup

Waktu terasa begitu cepat. Setiap langkah yang berat, setiap malam yang terasa panjang, akhirnya membuahkan hasil. Pada suatu hari yang cerah, Khoiron berdiri di depan gedung perkuliahan, mengenakan toga dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Ia baru saja menyelesaikan ujian terakhirnya, dan kini, dengan segala perjuangan dan pengorbanan, ia dinyatakan lulus. Momen itu seakan menghapus seluruh kepenatan yang pernah ia rasakan selama bertahun-tahun.

Namun, bukan hanya hasil ujian yang membuatnya merasa kemenangan. Bukan hanya nilai atau gelar yang ada di tangannya. Yang lebih penting bagi Khoiron adalah perjalanan panjang yang telah mengajarkan banyak hal tentang hidup, tentang kerja keras, tentang ketangguhan, dan yang terpenting, tentang persahabatan.

Di tengah perjalanan itu, ia selalu ingat bagaimana teman-temannya selalu ada, memberi dukungan tanpa Lelah. Udin, yang tanpa lelah selalu berada di sisinya, memberinya semangat. Andi, yang tak pernah berhenti menawarkan bantuan. Jaka, yang meski kadang terkesan acuh, selalu memberikan sedikit dorongan yang Khoiron butuhkan. Tanpa mereka, mungkin Khoiron tak akan bisa bertahan. Semua itu, ia tahu, adalah hadiah yang jauh lebih berharga daripada sekadar gelar yang ia kenakan. Tanpa mereka, mungkin ia sudah lama menyerah. Mereka membantu, tidak hanya dengan materi, tapi juga dengan semangat yang tiada henti. Khoiron tahu, keberhasilannya bukan hanya miliknya, tapi juga milik semua orang yang telah memberi waktu, tenaga, dan doa untuknya.

Di malam kelulusan, setelah semua perayaan selesai, Khoiron duduk sendiri di kamar kecil kontrakan Kukel, menatap langit yang gelap. Angin malam berhembus pelan, memberi kesejukan yang sedikit meringankan beban yang ada di dadanya. Ia merasakan dadanya berdegup kencang, seakan ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, meskipun tak ada lagi yang bisa mendengarnya.

Hatinya pun mulai berbicara dengan penuh keyakinan, seolah ia ingin mengingatkan dirinya sendiri akan sebuah kebenaran yang selama ini ia perjuangkan.

"Selama ini aku selalu merasa kurang. Aku bukan yang terbaik di kelas, aku tidak pernah bisa mengerti pelajaran dengan mudah seperti mereka—Udin yang pintar, Jaka yang kaya, Andi yang punya segalanya. Aku sering merasa, aku hanya bayangan kecil di antara mereka. Tapi hari ini, aku sadar satu hal yang penting. Pendidikan bukan hanya milik mereka yang pintar, bukan hanya milik mereka yang kaya, atau mereka yang hidup serba mudah. Pendidikan itu untuk semua orang, bahkan untuk orang yang tidak pintar, bahkan untuk orang yang tidak kaya seperti aku."

Ia menarik napas panjang, merenung sejenak sebelum melanjutkan.

"Aku tahu, untuk banyak orang, pendidikan adalah jalan untuk keluar dari kemiskinan, untuk mengubah nasib. Dan aku bukan satu-satunya yang ingin melaluinya. Aku ingin menunjukkan bahwa bahkan dengan segala keterbatasan, dengan segala kekurangan yang aku punya, aku bisa bertahan. Aku bisa belajar. Aku bisa mencapai apa yang orang-orang pikir tidak mungkin untuk orang sepertiku. Dan jika aku bisa melakukannya, aku yakin orang lain pun bisa. Selama kita mau berusaha, bekerja keras, Tuhan pasti akan memberikan jalan.”

Mata Khoiron mulai berkaca-kaca, namun senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia tahu, bahwa perjuangannya telah membawanya pada titik ini—di mana ia bisa merasa bangga dengan dirinya sendiri, meskipun jalan yang ia tempuh tak selalu mudah.

"Ini bukan tentang menjadi yang terbaik. Ini bukan tentang menjadi seperti mereka. Ini tentang terus maju, tentang tidak menyerah meskipun dunia seolah menguji kekuatan kita. Aku percaya, jika kita mau berusaha, tidak ada yang mustahil. Aku bukan orang pintar, aku bukan orang kaya, tapi aku punya tekad. Dan itu sudah cukup. Itu adalah hal yang paling berharga yang aku punya."

Khoiron menatap bintang-bintang yang bersinar di langit malam. Ia tahu, perjalanan hidupnya masih panjang. Masih ada banyak tantangan yang menunggu di depan. Tapi satu hal yang pasti: ia telah belajar untuk tidak menyerah, dan itu adalah pelajaran yang tak akan pernah ia lupakan.

Dengan penuh keyakinan, Khoiron berkata pada dirinya sendiri, "Pendidikan ini bukan hanya untuk orang yang punya segalanya. Pendidikan adalah hak bagi semua orang yang mau berjuang untuk masa depannya. Dan aku, Khoiron, akan terus berjuang."

Tentu saja, kelulusan itu hanyalah sebuah awal—awal dari perjalanan yang lebih panjang. Tapi bagi Khoiron, hari itu adalah kemenangan, kemenangan bagi mereka yang tak pernah berhenti berusaha, meski dunia tampak memberinya beban yang berat.

Dan meskipun kelulusan itu hanya sebuah titik di sepanjang jalan hidupnya, Khoiron tahu bahwa ia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar gelar—kepercayaan pada dirinya sendiri dan keyakinan bahwa ia mampu mengubah nasibnya, meskipun tidak memiliki apa-apa selain tekad yang bulat.

 

Komentar

Postingan Populer